MPM DIY – Muhammadiyah itu tak ubahnya seperti negara. Sebab semua masalah yang diurusi oleh negara ternyata juga diurusi oleh Muhammadiyah. Orang sakit dirawat Muhammadiyah melalui RS PKU, nelayan terpinggirkan diperhatikan dengan program-program pemberdayaan, para petani juga diberdayakan oleh Muhammadiyah, bahkan hingga tukang becak juga dipikirkan nasibnya oleh Muhammadiyah.
Hal tersebut disampaikan oleh Ridwan Furqoni, S.Pdi, M.Pdi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (PWM DIY) dalam sambutannya di acara Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PWM DIY, Sabtu (02/09) di hall Masjid KH Sudja’, RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Yogyakarta.
Motivasi Abadi
Namun demikian yang membedakan adalah motivasi yang melatarbelakanginya. “Jika negara menjalankan tugas untuk mencerdaskan bangsa didorong oleh konstitusi, maka Muhammadiyah menjalankan hal tersebut karena dorongan perintah agama,” tambah Furqoni.
Furqoni juga menambahkan bahwa motivasi agama inilah yang menjadikan gerakan Muhammadiyah tidak pernah surut. Hal ini ditandakan dengan keberadaan Muhammadiyah di seluruh Indonesia yang tidak berhenti untuk bergerak. Dari tingkat nasional bahkan hingga tingkat ranting (desa).
“Ada yg bertanya kenapa muhammadiyah tidak surut-surut? Di muhammadiyah ini lekat dengan semangat keikhlasan, kerelaan dan kedermawanan. Ini bagian tugas hidup kita dalam beragama,” tambahnya.
Perbedaan latar belakang motivasi ini tentunya sangat menarik. Hal ini disebabkan, latar belakang agama tidak membutuhkan imbalan karena memiliki motivasi abadi yakni ajaran agama. Sedangkan, latar belakang konstitusi selalu memerlukan anggaran. Tidak heran jika dalam Muhammadiyah program-program yang diimplementasikan bersumber dari swadaya dari kalangan Muhammadiyah sendiri maupun para donatur.
Ujung Tombak Pemberdayaan
Dalam konteks gerakan sosial, Muhammadiyah disebut-sebut seperti memiliki trisula gerakan. Tiga gerakan penting yang dimaksudkan dalam trisula ini adalah Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), dan Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu). Ketiga komponen inilah yang menjalankan peran penting dalam menjalankan fungsi pemberdayaan terhadap kaum mustadh’afin sebagaimana menjadi semangat awal didirikannya Muhamadiyah.
Keberadaan MPM baik itu tingkat pusat hingga ranting dengan demikian menjadi bagian penting dalam trisula gerakan tersebut. Bahkan bisa disebut sebagai ujung tombak dalam gerakan pemberdayaan. “Keberadaan MPM sangat penting dalam pembelaan terhadap kaum mustadh’afin sebab MPM berperan ujung tombak gerakan pemberdayaan,” ujar Agus Amin Syaifuddin, Ketua MPM PWM DIY di sela-sela acara Rakerwil.
Sebagai ujung tombak gerakan pemberdayaan, maka kegiatan Rakerwil yang mengundang seluruh MPM tingkat PDM hingga cabang di lingkungan Muhammadiyah Yogyakarta memiliki arti yang sangat strategis. Rakerwil yang mengambil tema Kolaborasi Membangun Ekosistem Pemberdayaan Masyarakat untuk Yogyakarta Berkemajuan diharapkan dapat menjadi wadah konsolidasi sekaligus kolaborasi gerakan pemberdayaan. “Rakerwil ini adalah langkah strategis untuk kita memulai kolaborasi membangun ekosistem pemberdayaan masyarakat. Minimal kita bisa melakukan kolaborasi di lingkungan MPM se-DIY,” imbuh Agus Amin. (red).